Minggu, 01 Februari 2009

Cinta Tak Selalu Berwujud Bunga




Suami saya adalah seorang insinyur, saya mencintai sifatnya yang alami
dan saya menyukai perasaan hangat yang muncul di hati saya ketika saya
bersandar dibahunya yang bidang.

Tiga tahun dalam masa perkenalan, dan dua tahun dalam masa pernikahan, saya harus akui,

    bahwa saya mulai merasa lelah, alasan-2 saya mencintainya dulu telah berubah menjadi sesuatu
    yang menjemukan.

    Saya seorang wanita yang sentimentil dan benar-2 sensitif serta berperasaan halus.

    Saya merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak yang menginginkan permen.

    Tetapi semua itu tidak pernah saya dapatkan. Suami saya jauh berbeda
    dari
    yang saya harapkan. Rasa sensitif-nya kurang. Dan ketidakmampuannya
    dalam
    menciptakan suasana yang romantis dalam pernikahan kami telah
    mementahkan
    semua harapan saya akan cinta yang ideal.

    Suatu hari, saya beranikan diri untuk mengatakan keputusan saya kepadanya,
    bahwa saya menginginkan perceraian. " Mengapa?" , dia bertanya dengan terkejut.

    "Saya lelah, kamu tidak pernah bisa memberikan cinta yang saya inginkan".
    Dia terdiam dan termenung sepanjang malam di depan komputernya,
    tampak seolah-olah sedang mengerjakan sesuatu, padahal tidak.
    Kekecewaan saya semakin bertambah, seorang pria yang bahkan tidak dapat
    mengekspresikan perasaannya, apalagi yang bisa saya harapkan darinya?

    Dan akhirnya dia bertanya, "Apa yang dapat saya lakukan untuk merubah pikiranmu?".


    Saya menatap matanya dalam-dalam dan menjawab dengan pelan,

    "Saya punya pertanyaan, jika kau dapat menemukan jawabannya di dalam hati saya,
    saya akan merubah pikiran saya:
    Seandainya, saya menyukai setangkai bunga indah
    yang ada di tebing gunung dan kita berdua tahu jika kamu memanjat

    gunung itu, kamu akan mati. Apakah kamu akan melakukannya untuk saya?"

    Dia termenung dan akhirnya berkata, "Saya akan memberikan jawabannya
    besok." Hati saya langsung gundah mendengar responnya.

    Keesokan paginya, dia tidak ada dirumah, dan saya menemukan selembar
    kertas dengan oret-2an tangannya dibawah sebuah gelas yang berisi susu
    hangat yang bertuliskan. ...

    "Sayang, saya tidak akan mengambil bunga itu untukmu, tetapi ijinkan
    saya untuk menjelaskan alasannya."

    Kalimat pertama ini menghancurkan hati saya. Saya melanjutkan untuk
    membacanya.

    "Kamu bisa mengetik di komputer dan selalu mengacaukan program

    diPC-nya dan akhirnya menangis di depan monitor, saya harus memberikan jari-2 saya
    supaya bisa membantumu dan memperbaiki programnya."

    "Kamu selalu lupa membawa kunci rumah ketika kamu keluar rumah, dan

    saya harus memberikan kaki saya supaya bisa mendobrak pintu, dan membukakan
    pintu untukmu ketika pulang.".

    "Kamu suka jalan-2 ke luar kota tetapi selalu nyasar di tempat-tempat baru
    yang kamu kunjungi, saya harus menunggu di rumah agar bisa memberikan
    mata saya untuk mengarahkanmu. "

    "Kamu selalu pegal-2 pada waktu 'teman baikmu' datang setiap bulannya,
    dan saya harus memberikan tangan saya untuk memijat kakimu yang pegal."

    "Kamu senang diam di rumah, dan saya selalu kuatir kamu akan menjadi
    'aneh'. Dan harus membelikan sesuatu yang dapat menghiburmu di rumah

    atau meminjamkan lidahku untuk menceritakan hal-hal lucu yang aku alami."

    "Kamu selalu menatap komputermu, membaca buku dan itu tidak baik untuk
    kesehatan matamu, saya harus menjaga mata saya agar ketika kita tua nanti,
    saya masih dapat menolong mengguntingkan kukumu dan mencabuti ubanmu."

    "Tanganku akan memegang tanganmu, membimbingmu menelusuri
    pantai,menikmati matahari pagi dan pasir yang indah. Menceritakan warna-2
    bunga
    yang bersinar dan indah seperti cantiknya wajahmu".

    "Tetapi sayangku, saya tidak akan mengambil bunga itu untuk mati.
    Karena, saya tidak sanggup melihat air matamu mengalir
    menangisi kematianku."

    "Sayangku, saya tahu, ada banyak orang yang bisa mencintaimu lebih

    dari saya mencintaimu. "

    "Untuk itu sayang, jika semua yang telah diberikan tanganku, kakiku,
    mataku, tidak cukup bagimu, aku tidak bisa menahan dirimu mencari tangan,
    kaki, dan mata lain yang dapat membahagiakanmu. "

    Air mata saya jatuh ke atas tulisannya dan membuat tintanya menjadi
    kabur,tetapi saya tetap berusaha untuk membacanya.

    "Dan sekarang, sayangku, kamu telah selasai membaca jawaban saya.
    Jika kamu puas dengan semua jawaban ini, dan tetap menginginkanku

    untuk tinggal di rumah ini, tolong bukakan pintu rumah kita, saya sekarang
    sedang berdiri disana menunggu jawabanmu."

    "Jika kamu tidak puas, sayangku, biarkan aku masuk untuk membereskan
    barang-barangku, dan aku tidak akan mempersulit hidupmu.
    Percayalah, bahagiaku bila kau bahagia.".

    Saya segera berlari membuka pintu dan melihatnya berdiri di depan pintu
    dengan wajah penasaran sambil tangannya memegang susu dan roti kesukaanku.

    Oh, kini saya tahu, tidak ada orang yang pernah mencintai saya lebih

    dari dia mencintaiku. Itulah cinta, di saat kita merasa cinta itu telah
    berangsur-angsur hilang dari hati kita karena kita merasa dia tidak
    dapat memberikan cinta dalam wujud yang kita inginkan, maka cinta itu
    sesungguhnya telah hadir dalam wujud lain yang tidak pernah kita
    bayangkan sebelumnya.

    Seringkali yang kita butuhkan adalah memahami wujud cinta dari
    pasangan kita, dan bukan mengharapkan wujud tertentu.
    Karena cinta tidak selalu harus berwujud "bunga".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar